Majapahit yang sebenarnya di batasi oleh 4 (empat) Tugu Batas yang berbentuk Lingga-Yoni, dengan jarak
antar tugu berkisar 9 x 11 km. Peta Kota Raja Majapahit ini pertama
kali dibuat oleh seorang Belanda bernama H Maclaine Pont, seorang
arsitek yang juga turut membidani munculnya bangunan Gereja Katolik Puh
Sarang di Kediri, Jawa Timur.
Sebenarnya
apa yang dipetakan oleh Maclaine Pont ini telah diuraikan secara
panjang lebar dalam Kitab Negarakertagama, khususnya di dalam Pupuh
VIII, yang secara penggalannya berbunyi
- "
.. tersebutlah keajaiban kota : tembok batu merah tebal tinggi
mengitari Pura (sebutan lain untuk kota raja), pintu Barat bernama Pura
Waktra, menghadap ke lapangan luas bersabut parit ; pohon brahmastana
berkaki bodi, berjajar panjang, rapi berbentuk aneka ragam .......... ;
disebelah Utara bertegak gapura permai dengan pintu besi penuh berukir
.... dst."
Pada
tahun 2003, tim arkeologi dari Yogyakarta yang dipimpin oleh Nurhadi
Rangkuti, melakukan survey untuk mencari dan menentukan batas-batas
situs Kota Raja Majapahit yang diperkirakan memanjang arah Utara -
Selatan seluas 9 km x 11 km. Dari hasil penelitian sebelumnya telah
ditemukan 3 (tiga) buah batas Kota Raja Majapahit yang ditandai dengan
sebuah kompleks bangunan suci agama Hindu dengan pusat berbentuk YONI
berhias naga-raja.
Tiga batas kota tersebut adalah Klinterjo di Timur-Laut, Lebak-Jabung di Tenggara dan Sedah di Barat Daya.
Berdasarkan ekskavasi di situs Klinterjo dan Lebak-Jabung, didapatkan
gambaran mengenai bentuk bangunan suci agama Hindu di penjuru sudut
penanda batas Kota Raja. Secara garis-besar pola tata ruang bangunan
tersebut memanjang arah Barat-Timur dan memiliki tiga halaman.
Halaman
paling Barat berupa bangunan terbuka, berumpak batu dengan batur
batu-bata, mirip bangunan balai atau pendopo. Pada halaman tengah
terdapat sisa-sisa bangunan dari batu-bata, dan pada bagian Timur juga
terdapat bangunan batu-bata dengan Yoni Naga Raja.
Tampaknya pola tata ruang bangunan suci tersebut mirip dengan kompleks bangunan Pura di Bali yang juga memiliki tiga halaman, yaitu halaman : jaba, jaba tengah dan jeroan. Dan inilah hasil pemetaan batas-batas Kota Raja Majapahit.
Diposkan oleh
Lanang Dawan
di
17:48
SUSUNAN PEJABAT KERAJAAN
Majapahit dengan
sumber sejarahnya yang berupa kitab Negarakertagama di dalam pupuh X/1
menguraikan bahwa Sang Panca Wilwatikta mempunyai hubungan yang rapat
dengan Istana (Majapahit). Dalam pupuh itu dijelaskan pula bahwa yang
dimaksud dengan Sang Panca Wilwatikta adalah lima orang pembesar dalam pemerintahan Majapahit adalah Patih, Demung, Kanuruhan, Rangga dan Tumenggung.
Kelima
pembesar tersebut diserahi pelaksanaan pemerintahan Majapahit, menjadi
pembantu utama Sang Prabu dalam urusan pemerintahan. Diantara lima
pembesar tersebut Patih adalah
merupakan jabatan yang tertinggi, Negarakertagama pupuh X/2 menyebutnya
amatya ring sanagara yang artinya patih seluruh negara. Sebutan
ini hanya diperuntukkan bagi Patih Majapahit untuk membedakannya dengan
patih-patih di negara bawahan, seperti Daha, Kahuripan, Wngker, Matahun
dan sebagainya.
Dalam pupuh
tersebut juga disinggung bahwa patih negara bawahan dan para pembesar
lainnya seperti Demung berkumpul di Kepatihan Majapahit yang dipimpin
oleh Maha Patih Gajah Mada, jadi dengan demikian seluk beluk
pemerintahan seluruh negara Majapahit ditentukan oleh Maha Patih
Majapahit. Para patih dan pembesar negara bawahan menerima perintah dari
Patih Majapahit dan memberikan laporan tentang keadaan negara-negara
bawahan kepada sang patih.
Demikianlah patih negara bawahan biasa
disebut dengan patih saja, ia melaksanakan pemerintahan di negara
bawahan, sedangkan patih seluruh negara memberikan perintah dan arahan
tentang bagaimana menjalankan pemerintahan di negara bawahan atau di
daerah.
Dalam kitab Pararaton, patih seluruh negara itu disebut dengan istilah Patih Amangkubhumi, istilah ini tidak terdapat di dalam Negarakertagama.
Negarakertagama dalam pupuh X/1 menguraikan bahwa diantara para
penghadap baginda di balai Witana ialah Wreddha Menteri (menteri sepuh)
dan para arya. Pupuh LXXII/1
menyinggung pengangkatan Sang Arya Atmaraja Empu Tandi sebagai wreddha
menteri sepeninggal Mahapatih Gajah Mada pada tahun 1364.
Pupuh
IX/3 menyinggung tempat duduk para menteri di paseban dan menyinggung
adanya sang sumantri pinituha yakni para menteri sepuh atau wreddha
menteri. Sampai saat ini belum diperoleh penjelasan tentang fungsi
jabatan wreddha menteri itu dalam hal urusan pemerintahan. Mereka itu
tidak langsung berhubungan dengan jalannya pemerintahan seperti Sang
Panca Wilwatikta yang disebutkan dalam pupuh X.
Dalam berbagai
prasasti diuraikan dengan jelas bahwa perintah raja Majapahit disalurkan
kepada tiga mahamenteri (mahamentri katrini) yakni Mahamenteri Hino,
Mahamentri Halu dan Mahamentri Sirikan. Kemudian perintah itu disalurkan
kepada Sang Panca Wilwatikta. Kidung Harsawijaya pupuh II/16a
dan 16b menguraikan bahwa semenjak pemecatan wreddha menteri dan
pengangkatan yuwa menteri, rakyat tidak senang kepada sikap sang prabhu
Kertanegara.
Yang dimaksud dengan pemecatan wreddha menteri itu
ialah pemecatan Wiraraja, Empu Raganata dan pujangga Santasmreti. Raja
Kertanegara lebih suka mendengarkan nasehat para yuwa menteri dari pada
nasehat para wreddha menteri. Kiranya yang dimaksud dengan istilah
wreddha menteri dalam Kidung Harsawijaya ini berbeda dengan istilah
wreddha menteri yang disebut dalam Negarakertagama dan beberapa prasasti
y Dari pembacaan prasasti Pakis (prasasti Pakis, 1266, tidak lengkap,
disiarkan oleh Dr. N.J. Krom dalam Rapporten, Commissie voor
Oudheidkundig Onderzoek, tahun 1911, hal 117 - 123) dan prasasti Gunung
Wilis (disebut juga prasasti Penampihan, 1269, termuat dalam O.J.O. hal.
189-193 ; terjemahannya dalam bahasa Inggris oleh Dr. Himansu Bushan
Sarkar dalam Majalah The Greater India, 1935, hal 55-70) yang
dikeluarkan oleh prabu Kertanegara, terbukti tidak ada jabatan wreddha
menteri.
Perintah raja Kertanegara disalurkan kepada tiga
mahamenteri (mahamentri katrini), kemudian disampaikan kepada para
menteri urusan negara yang dikepalai oleh patih. Pada prasasti Pakis,
1266 perintah raja Kertanegara ditampung oleh rakrian mahamenteri Hino,
Sirikan dan Halu, kemudian disalurkan kepada para tanda untuk urusan
negara : rakrian patih, rakrian demung dan rakrian kanuruhan. Nama-nama
para menteri itu tidak disebut.
Pada prasasti Gunung Wilis, 1269,
perintah raja Kertanegara ditampung oleh tiga mahamenteri : Hino,
Sirikan dan Halu, kemudian disalurkan kepada para tanda urusan negara :
patih Kebo Arema, demung Mapanji Wipaksa dan kanuruhan Ramapati.
Demikianlah para tanda urusan negara yang dikepalai oleh patih menampung
perintah raja dari mahamenteri katrini, tanpa perantara. Jadi jabatan
wreddha menteri seperti tercantum pada pelbagai prasasti Majapahit,
tidak diketemukan pada jaman Singasari.
Prasasti-prasasti zaman
sevelum Singasari tidak menyebut adanya jabatan wreddha menteri. Dari
uraian di atas jelaslah, bahwa jabatan wreddha menteri adalah ciptaan
Majapahit. Dari uraian tersbut nyata pula bahwa para tanda urusan
negara pada jaman pemerintahan prabu Kertanegara di Singasari berjumlah
tiga orang saja yakni patih, demung dan kanuruhan. Pada jaman Majapahit
jumlah para tanda urusan negar itu mejadi lima yakni : patih, demung,
kanuruhan, rangga dan tumenggung. Lima orang tanda urusan negara ini
sudah dikenal sejak awal pendirian kerajaan Majapahit seperti yang
tercantum di dalam prasasti Penanggungan, yangk dikeluarkan pada tahun
1296.
Jadi jumlah para tanda itu mengalami perubahan dari tiga
(pada jaman Singasari) menjadi lima. Jumlah limatanda urusan negara itu
disebut Sang Panca ri Wilwatikta, sebagaimana diuraikan dalam
Negarakertagama pupuh X/1.
Diposkan oleh
Lanang Dawan
di
18:14
Majapahit terletak di lembah sungai
Brantas di sebelah Tenggara kota Mojokerto, di daerah Tarik, sebuah
daerah kecil di persimpangan Kali Mas dan Kali Porong. Konon pada akhir
tahun 1292 tempat itu masih merupakan hutan belantara, penuh dengan pohon-pohon maja seperti kebanyakan tempat-tempat lainnya di lembah sungai Brantas.
Berkat
kedatangan orang-orang Madura, yang sengaja dikirim ke sana oleh
Adipati Wiraraja dari Sumenep, hutan tersebut berhasil ditebangi dan
dijadikan perladangan, dihuni oleh orang-orang Madura, pelarian dari
Singosari dan pengikut-pengikut setia Sanggramawijaya, serta dinamakan
Majapahit (desa).
Pada permulaan tahun 1293, ketika tentara
Tar-tar di bawah pimpinan Shih-pi, Kau Hsing dan Ike Messe dating ke
sana, kepala desa Majapahit bernama Tuhan Pijaya (Groeneveldt, W.P,
Notes on the Malay Archipelago and Malacca, compiled from Chinese source
VBG XXXIX, 1880. Cetakan ulang : Historical Notes on Indonesia and
Malaya, Bhatara, Jakarta, 1960. hal. 30), yakni Nararya Sanggramawijaya.
Baru
setelah Jayakatwang berhasil dihancurkan dalam bulan April 1293 berkat
serbuan tentara Tartar dengan bantuan Sanggrawijaya, desa Majapahit
dijadikan pusat pemerintahan kerajaan baru, yang disebut dengan kerajaan
Majapahit. Pada waktu itu wilayah kerajaan Majapahit hanya meliputi
daerah kekuasaan kerajaan Singosari lama, jadi hanya sebagian dari
wilayah Jawa Timur. Sepeninggal Rangga Lawe pada tahun 1295, atas
permintaan Wiraraja sesuai dengan janji Sanggramawijaya, maka kerajaan
Majapahit dibelah menjadi dua (Kidung Rangga Lawe, terbutan Prof. C.C.
Berg dalam seri Bibliotheca Javanica K.B.G, vol. 1, 1930). Bagian Timur
yang meliputi daerah Lumajang, diserahkan kepada Wiraraja.
Demikianlah
pada akhir abad ketiga-belas kerajaan Majapahit itu hanya meliputi
daerah Kadiri, Singasari, Janggala (Surabaya) dan pulau Madura.
Dengan penumpasan Nambi pada tahun 1316, daerah Lumajang bergabung
kembali dengan Majapahit sebagaimana tercatat dalam Prasasti Lamongan
(Prasasti Lamongan tidak bertarikh, menguraikan ke-swatantraan daerah
Blambangan sebagai hadiah kepada masyarakat Blambangan, disiarkan oleh
Dr. Purbatjaraka dalam T.B.G LXXVI, 1936, hal. 388-389).
Sejak
tahun 1331 wilayah Majapahit diperluas berkat penundukan Sadeng (di tepi
sungai Bedadung) dan Keta (di pantai Utara dekat Panarukan) seperti
diberitakan dalam kakawin Negarakertagama pupuh XLVIII/2 dan XLIX/3
serta dalam kitab Pararaton. Pada waktu itu wilayah kerajaan Majapahit
meliputi seluruh Jawa Timur dan Pulau Madura (Prasasti Camunda, 1332,
menguraikan bahwa Tribhuwana Tunggadewi menguasai seluruh dwipantara.
Istilah dwipantara ini kiranya harus ditafsirkan sebagai hyperbol,
karena pada waktu itu kekuasaan Majapahit hanya terbatas sampai Pulau
Jawa dan Madura saja, tidak sama dengan istilah Nusantara dalam program
politik Gajah Mada pada tahun 1334).
Baru setelah Jawa Timur dikuasai penuh, Majapahit mulai menjangkau pulau-pulau di luar Jawa, yang disebut Nusantara. Menurut
Pararaton, politik perluasan wilayah seluruh Nusantara ini bertalian
dengan program politik Gajah Mada yang diangkat menjadi patih
Amangkubumi pada sekitar tahun 1334. Untuk menjayakan program politiknya tersebut, para pembesar Majapahit yang tidak menyetujui disingkirkan oleh Gajah Mada. Pelaksanaan
program politik penyatuan Nusantara ini rupanya baru dimulai pada tahun
1343 dengan penundukkan Bali, pulau yang paling dekat dengan pulau
Jawa.
Selanjutnya diantara tahun 1343 – 1347, Pu
Adityawarman meninggalkan pulau Jawa untuk mendirikan kerajaan
Malayapura di Minangkabau, Sumatera, seperti diberitakan dalam prasasti
Sansekerta pada arca Amoghapasa tahun 1347. Dalam prasasti tersebut
diuraikan bahwa Pu Adityawarman bergelar Tuhan Patih (gelar sebutan
Tuhan Patih dalam prasasti Amoghapasa, 1347, menunjukkan bahwa
Adityawarman menjalankan pemerintahan di kerajaan Malayapura atas nama
raja Majapahit Tribhuwana Tunggadewi Jayawisnuwardhani).
Berita
Cina dari Dinasti Ming (Groeneveldt, W.P, Notes on the Malay
Archipelago and Malacca, compiled from Chinese source VBG XXXIX, 1880.
Cetakan ulang : Historical Notes on Indonesia and Malaya, Bhatara,
Jakarta, 1960. hal. 69) menyatakan bahwa pada tahun 1377 Suwarnabhumi
(Sumatera) diserbu oleh tentara Jawa. Putera Mahkota Suwarnabhumi tidak
berani naik tahta tanpa bantuan dan persetujuan kaisar Cina, karena
takut kepada raja Jawa. Kaisar Cina lalu mengirim utusan ke Suwarnabhumi
untuk mengantarkan surat pengangkatan, namu di tengah jalan dicegat
oleh tentara Jawa dan dibunuh seketika.
Meskipun demikian Kaisar
Cina tidak melakukan tindakan balasan terhadap raja Jawa, karena
mengakui bahwa tindakan balasan tidak dapat dibenarkan. Sebab utama
serbuan tentara Jawa (ke Suwarnabhumi) pada tahun 1377 tersebut adalah
karena raja Suwarnabhumi telah mengirim utusan ke Cina pada tahun 1373
tanpa sepengetahuan raja Jawa. Pengiriman utusan tersebut dipandang
sebagai suatu pelanggaran terhadap status kerajaan Suwarnabhumi yang
sebenarnya adalah merupakan kerajaan bawahan Majapahit.
Tarikh
penundukan Suwarnabhumi terhadap Majapahit terjadi pada sekitar tahun
1350 ; keruntuhannya mengakibatkan jatuhnya daerah-daerah bawahannya di
Sumatera dan di semananjung Tanah Melayu ke dalam kekuasaan Majapahit. Dua
belas kerajaan Suwarnabhumi yang jatuh ke tangan Majapahitadalah :
Pahang, Trengganu, Langkasuka, Kelantan, Woloan, Cerating, Paka,
Tembeling, Grahi, Palembang, Muara Kampe dan Lamuri. Hampir semua
daerah-daerah tersebut dinyatakan sebagai daerah-daerah bawahan
Majapahit seperti ternyata dalam kakawin Negarakertagama pupuh XIII dan
XIV.
Daftar itu menyebut juga nama-nama daerah bawahan lainnya. Rupanya Palembang dijadikan batu loncatan bagi tentara Majapahit untuk menundukkan daerah-daerah lainnya di sebelah Barat pulau Jawa. Namun
di daerah–daerah ini tidak diketemukan prasasti sebagai bukti adanya
kekuasaan Majapahit. Hikayat-hikayat daerah yang ditulis kemudian,
menyinggung adanya hubungan antara pelbagai daerah dan Majapahit dalam
bentuk dongengan, dan bukan merupakan catatan sejarah khusus.
Dongengan-dongengan
tersebut menunjukkan sekedar kekaguman terhadap kebesaran dan keagungan
Majapahit. Sejarah Melayu (Sejarah Melayu, edisi Shellabear, Kisah II)
mencatat dongengan tentang kejayaan serbuan Tumasik oleh tentara
Majapahit berkat pembelotan seorang pegawai kerajaan yang bernama Rajuna
Tapa. Konon sehabis peperangan, Rajuna Tapa kena umpat sebagai balasan
pengkhianatannya dan berubah menjadi batu di sungai Singapura, rumahnya
roboh dan beras simpanannya menjadi tanah.
Dongengan tersebut
mengingatkan kita kepada serbuan Tumasik oleh tentara Majapahit pada
sekitar tahun 1350, karena Tumasik termasuk ke dalam program politik
Gajah Mada dan tercatat dalam daftar daerah bawahan Majapahit seperti
diungkapkan dalam kakawin Negarakertagama pupuh XIII. Kerajaan Islam
Samudra Pasai di Sumatera Utara juga tercatat sebagai daerah bawahan
Majapahit. Dongengan romantis tentang serbuan Pasai oleh tentara
Majapahit diberitakan dalam Hikayat Raja-Raja Pasai (Hikayat Raja-Raja
Pasai, 1819, disalin dengan huruf Romawi oleh J.P. Mead dalam JMBRAS no.
66; dibicarakan oleh J.L.A. Brandes dalam Pararaton, 1896 ; dibahas
oleh R.O. Winstedt dalam karangan “The Chronicles of Pasai”, JMBRAS vol.
XVI, 1938 ; oleh Dr. R. Roolvink dalam karangan “Hikayat Raja-Raja
Pasai” di Majalah Bahasa dan Budaya, vol. II, no. 3, 1954 ; oleh Prof.
A. Teeuw dalam karangan “Hikayat Raja-Raja Pasai”, di Malayan and
Indonesian Studies, Oxford, 1964), berikut ini :
“Pada
pemerintahan Sultan Ahmad di Pasai, puteri Gemerencang dari Majapahit
jatuh cinta kepada Abdul Jalil, putera raja Ahmad, hanya karena melihat
gambarnya. Oleh karena itu ia berangkat ke Pasai dengan membawa banyak
kapal. Sebelum mendarat terdengar kabar bahwa Abdul Jalil telah mati,
dibunuh oleh ayahnya sendiri. Karena kecewa dan putus asa, puteri
Gemerancang berdoa kepada Dewa, agar kapalnya tenggelam.
Doa itu
dikabulkan. Mendengar berita tersebut, Sang Nata Majapahit murka, lalu
mengerahkan tentara untuk menyerang Pasai. Ketika tentara Majapahit
menyerbu Pasai, Sultan Ahmad berhasil melarikan diri, namun Pasai dapat
dikuasai dan diduduki”. Seperti telah disinggung di atas, ekspedisi
ke Sumatera ini mungkin sekali dipimpin oleh Gajah Mada sendiri, karena
ada beberapa nama tempat di Sumatera Utara yang mengingatkan serbuan
Pasai oleh tentara Majapahit di bawah pimpinan Gajah Mada, dan
dongengannya memang ditafsirkan demikian oleh rakyat setempat (H.M.
Zainuddin, Tarich Acheh dan Nusantara, Bab XVII, hal. 220-236).
Tempat-tempat
tersebut misalnya : sebuah bukit di dekat kota Langsa bernama Manjak
Pahit (Majapahit). Menurut dongengan tentara Majapahit membuat benteng
di atas bukit itu dalam persiapan menyerang Temiang. Berikutnya, rawa
antara Perlak dan Peudadawa bernama Paya Gajah (Gajah Mada), karena
menurut dongengan rawa itu dilalui oleh tentara Majapahit di bawah
pimpinan Gajah Mada dalam perjalanan menuju Lhokseumawe dan Jambu Air,
yang menjadi sasaran utama serangannya. Bukit Gajah yang terletak di
pedalaman disebut demikian karena setelah mendarat, Gajah Mada beserta
tentaranya langsung bergerak menuju bukit itu. Bukit di dekatnya bernama
Meunta, perubahan dari nama Mada, karena di situlah tempat Gajah Mada
membuat persiapan untuk menyerang Pasai.
Demikianlah beberapa
nama tempat-tempat di Sumatera Utara yang agak mirip dengan nama Gajah
Mada dan Majapahit, oleh karena itu mengingatkan peristiwa sejarah di
sekitar tahun 1350 yakni serbuan Pasai oleh tentara Majapahit. Mengenai
penundukan beberapa tempat di Tanjungpura atau Kalimantan terdapat
pemberitaannya dalam Sejarah Dinasti Ming (Groeneveldt, W.P, Notes on
the Malay Archipelago and Malacca, compiled from Chinese source VBG
XXXIX, 1880. Cetakan ulang : Historical Notes on Indonesia and Malaya,
Bhatara, Jakarta, 1960. hal. 112-113), yang kiranya patut dipercaya
seperti berikut ini : “Kaisar Cina mengeluarkan pengumuman tentang
pengangkatan Hiawang sebagai raja Pu-Nie untuk menggantikan ayahnya.
Hiawang
dan pamannya konon memberitahukan bahwa kerajaannya setiap tahun
mempersembahkan upeti sebanyak 40 kati kapur barus kepada raja Jawa.
Mereka mohon agar Kaisar suka mengeluarkan pengumuman tentang pembatalan
upeti tersebut, agar upeti tersebut dapat di kirim ke istana Kaisar …”.
Pu-Nie biasa disamakan dengan Brunei, di bagian Kalimantan, dengan
demikian jelaslah bahwa Brunei adalah merupakan kerajaan bawahan
Majapahit pada pertengahan kedua abad empatbelas.
Hal ini sesuai
dengan pemberitaan kakawin Negarakertagama dalam pupuh XIV/1 yang
menyebut Barune. Penyebutan Kutei, dibagian Timur Kalimantan,
terdapat dalam pupuh XII/1 sebagai Tanjung Kutei. Hubungan antara Kutei
dan Majapahit diberitakan dalam Silsilah Kutei (Silsilah Kutei
diterbitkan oleh Dr. C.A. Mees sebagai thesis Universitas Leiden di
bawah judul De Kroniek van Kutei, Santpoort, 1928), sebagai berikut :
“Kemudian Maharaja Sultan dan Maharaja Sakti berangkat ke Majapahit
untuk mempelajari tatanegara Majapahit. Ikutlah bersama mereka ialah
Maharaja Indra Mulia dari Mataram.
Tersebut perkataan Maharaja
Sultan dua bersaudara di Majapahit. Mereka diajarkan tata-cara di
Keraton dan adat yang dipakai oleh segala menteri. Tidak beberapa lama
merekapun kembali ke Kutei. Sebuah keraton yang menurut tata-cara Jawa
pun di dirikan. Sebuah pintu gerbang yang dibawa pulang dari Majapahit
dijadikan hiasan keraton ini …..”. Dongengan tersebut jelas menunjukkan
hubungan antara Kutei dan Majapahit yang mungkin sekali bertarikh dari
pertengahan abad empat belas, di masa kejayaan Majapahit. Hubungan
Banjar dan Kota Waringin di Kalimantan Selatan dengan Majapahit,
diberitakan dalam Hikayat Banjar dan Kota Waringin (Hikayat Banjar dan
Kota Waringin diterbutkan oleh Dr. A.A. Cense sebagai thesis Universitas
Leiden di bawah judul De Kroniek van Bandjarmasin, Santpoort, 1928 ;
dan oleh Dr. J.J. Ras di bawah judul Hikayat Banjar, The Haque, 1968),
dalam bentuk perkawinan antara Puteri Junjun Buih, anak pungut Lembu
Mangurat dan Raden Suryanata dari Majapahit seperti berikut : “Adapun
raja Majapahit itu sesudah beroleh anak yang keluar dari matahari ini,
masih beroleh enam anak lainnya dan negeri pun terlalu makmur.
Maka
pada keesokan harinya Lembu Mangurat pun berangkat ke Majapahit dengan
pengiring yang banyak sekali. Sesampainya di Majapahit, Lembu Mangurat
diterima dengan baik. Permintaan Lembu Mangurat akan Raden Putra sebagai
suami Puteri Junjung Buih juga dikabulkan. Maka kembalilah Lembu
Mangurat ke negerinya, pesta besar-besaran disediakan untuk mengawinkan
Puteri Junjung Buih dengan Raden Putera. Sebelum perkawinan
dilangsungkan, suatu suara ghaib meminta Raden Putera menerima mahkota
dari langit.
Mahkota itulah yang akan meresmikan Raden Putera
menjadi raja secara turun-temurun. Hanya keturunannya yang diridhai
Allah yang boleh memakai mahkota itu. Maka pesta perkawinanpun
berlangsunglah. Adapun nama Raden Putera yang sebenarnya adalah Raden
Suryanata yang artinya Raja Matahari ..”. Mengenai pulau-pulau di
sebelah Timur Jawa, pertama-tama disebutkan pulau Bali yang telah
ditundukkan pada tahun 1343, berikutnya pulau Lombok atau Gurun, yang
dihuni oleh suku Sasak. Kedua pulau ini hingga sekarang menunjukkan
adanya pengaruh kuat dari Majapahit, sehingga penguasaan Majapahit atas
Bali dan Lombok tidak diragukan lagi.
Kota
Dompo yang terletak di pulau Sumbawa, menurut Negarakertagama pupuh
LXXII/3 dan kitab Pararaton telah ditundukkan oleh tentara Majapahit di
bawah pimpinan Mpu Nala pada tahun 1357. Penemuan prasasti Jawa
dari abad empat belas di pulau Sumbawa (G.P. Rouffaer, Notulen van de
Directie-vergaderingen van het Bataviaasch Genootschap, 1910, hal.
110-113 ; F.H van Naersen “Hindoe-Javaansche overblijfselen op Sumbawa”
T.K.N.A.G, 1938, hal. 90), memperkuat pemberitaan Negarakertagama dan
Pararaton di atas, sehingga penguasaan Jawa atas pulau Sumbawa tak dapat
disangsikan lagi.
Prasasti tersebut adalah satu-satunya yang
pernah diketemukan di kepulauan di luar Jawa. Rupanya Dompo dijadikan
batu loncatan bagi Majapahit untuk menguasai pulau-pulau kecil lainnya
di sebelah Timur sampai Wanin di pantai Barat Irian. Berbeda dengan
di Sumatera dan Kalimantan, di daerah sebelah Timur Jawa, kecuali di
Bali dan Lombok, tidak ada hikayat-hikayat daerah, oleh karenanya juga
tidak terdapat dongengan tertulis tentang hubungan Majapahit dengan
daerah-daerah tersebut. Daerah-daerah di luar Jawa yang dikuasai
oleh Majapahit pada pertengahan abad keempatbelas sebagaimana yang
diberitakan oleh Negarakertagama dalam pupuh XIII dan XIV adalah seperti
berikut ini :
- Di
Sumatera : Jambi, Palembang, Dharmasraya, Kandis, Kahwas, Siak,
Rokan, Mandailing, Panai, Kampe, Haru, Temiang, Parlak, Samudra,
Lamuri, Barus, Batan, Lampung.Di Kalimantan (Tanjung Pura) :
Kapuas, Katingan, Sampit, Kota Lingga, Kota Waringin, Sambas,
Lawai, Kandangan, Singkawang, Tirem, Landa, Sedu, Barune,
Sukadana, Seludung, Solot, Pasir, Barito, Sawaku, Tabalung, Tanjung
Kutei, Malano.
- Di
Semenanjung Tanah Melayu (Hujung Medini) : Pahang, Langkasuka,
Kelantan, Saiwang, Nagor, Paka, Muar, Dungun, Tumasik, Kelang,
Kedah, Jerai (Kesah Raja Marong Mahawangsa, Penerbitan Pustaka
Antara, Kuala Lumpur 1965, hal. 79. “Akan pulau Serai itu pun juga
hampirlah sangat bertemu dengan tanah darat besar ; maka akhirnya
itulah yang disebut orang Gunong Jerai karena ia tersangat tinggi”’
Lihat juga Paul Wheatly, The Golden Khersonese, hal. 261).
- Di
sebelah Timur Jawa : Bali, Badahulu, Lo Gajah, Gurun, Sukun,
Taliwung, Dompo, Sapi, Gunung Api, Seram, Hutan Kadali, Sasak,
Bantayan, Luwuk, Makasar, Buton, Banggawi, Kunir, Galian, Salayar,
Sumba, Muar (Saparua), Solor, Bima, Wandan (Banda), Ambon, Maluku,
Wanin, Seran, Timor.
Diposkan oleh
Lanang Dawan
di
17:18